Awal Mula Terbongkarnya Kasus
Kasus dugaan suap dan
gratifikasi terkait pengurusan perkara di PN Jakarta Pusat ini tidak terungkap
secara langsung, melainkan ditemukan secara tidak sengaja. Jaksa penyidik
menemukan bukti saat sedang menangani perkara lain di PN Surabaya yang
melibatkan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) bernama Zarof Ricar.
Sumber Gambar: https://akcdn.detik.net.id/
Kepala Pusat Penerangan Hukum
Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa jaksa penyidik menemukan
bukti percakapan yang menyebut nama Marcella Santoso, pengacara yang kemudian
ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Marcella diketahui merupakan
pengacara terdakwa korporasi dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas
ekspor CPO.
"Jadi, ketika penyidik
menangani perkara yang di Surabaya [Zarof Ricar], di situ ada ditemukan semacam
percakapan, catatan yang menyebutkan nama MS [Marcella Santoso, Advokat],"
ujar Harli.
"Penyidik setelah ada putusan ontslag ini melakukan penggeledahan di apartemennya MS dan menemukan catatan-catatan terkait ontslag ini," lanjutnya. [CNNIndonesia]
Alur Suap dari Pengacara ke Hakim
Berdasarkan keterangan
Direktur Penyidikan JAMPIDSUS Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, kasus ini berawal
ketika pengacara terdakwa korporasi minyak goreng bernama Ariyanto Bakri
menghubungi Wahyu Gunawan selaku panitera muda untuk 'mengurus' perkara
kliennya. Wahyu kemudian menyampaikan keinginan Ariyanto itu kepada Muhammad
Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Arif Nuryanta kemudian meminta
imbalan sebesar Rp 60 miliar, dengan kalkulasi Rp 20 miliar untuk satu orang
hakim. Karena biasanya hakim yang mengadili perkara korupsi berjumlah tiga
orang, maka total permintaan menjadi Rp 60 miliar.
Beberapa waktu kemudian,
Ariyanto Bakri menyerahkan uang sebesar Rp 60 miliar dalam bentuk Dollar
Amerika Serikat kepada Wahyu Gunawan, yang kemudian meneruskannya kepada
Muhammad Arif Nuryanta. [Detik
News](https://news.detik.com/berita/d-7868002/alur-suap-rp-60-m-ke-ketua-pn-jaksel-hingga-ke-majelis-hakim-perkara-migor)
Pembagian Uang Suap kepada Majelis Hakim
Setelah menerima uang Rp 60
miliar, Muhammad Arif Nuryanta menunjuk tiga orang hakim sebagai majelis hakim
perkara tersebut: Djuyamto sebagai ketua majelis, serta Ali Muhtarom dan Agam
Syarif Baharudin sebagai anggota.
Pembagian uang suap dilakukan dalam dua tahap:
Tahap Pertama
Muhammad Arif Nuryanta
menyerahkan Rp 4,5 miliar kepada Djuyamto dan Agam Syarif Baharudin sebagai
"uang baca berkas perkara". Uang tersebut dimasukkan ke dalam goodie
bag oleh Agam Syarif Baharudin, dan kemudian dibagikan kepada ketiga hakim
termasuk Ali Muhtarom.
Tahap Kedua
Pada sekitar bulan September
atau Oktober 2024, Arif Nuryanta menyerahkan kembali uang dalam bentuk dolar
Amerika setara Rp 18 miliar kepada Djuyamto. Penyerahan ini dilakukan di depan
Bank BRI Pasar Baru Jakarta Selatan. Kemudian uang tersebut dibagi menjadi:
- Djuyamto: Rp 6 miliar
- Agam Syarif Baharudin: Rp 4,5 miliar
- Ali Muhtarom: Rp 5 miliar
Total uang yang telah dibagikan kepada ketiga hakim adalah Rp 22,5 miliar, sementara sisa Rp 37,5 miliar masih dalam penyelidikan Kejaksaan Agung. [CNNIndonesia]
Detail Kasus Korupsi CPO
Kasus awal yang menjadi sumber
suap ini adalah dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO)
dan turunannya pada periode Januari-April 2022. Tiga perusahaan besar - Wilmar
Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group - didakwa melakukan korupsi
terkait ekspor minyak sawit tanpa izin yang diperlukan pada saat Indonesia
memberlakukan pembatasan ekspor.
Pada 19 Maret 2025, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat mengeluarkan putusan kontroversial berupa vonis lepas (ontslag van alle recht vervolging) terhadap ketiga terdakwa korporasi tersebut. Putusan ini berarti bahwa meskipun tindakan para terdakwa secara unsur memenuhi pasal yang didakwakan, namun menurut pertimbangan majelis hakim, tindakan tersebut bukan merupakan tindak pidana. [Independent]
Perkembangan Penyidikan dan Penemuan Barang Bukti
Jaksa penyidik telah melakukan
penggeledahan di banyak tempat di tiga provinsi berbeda: Jawa Tengah, Jawa
Barat, dan Jakarta. Dari penggeledahan ini, ditemukan berbagai barang bukti
yang memperkuat dugaan suap:
Dari Rumah Muhammad Arif
Nuryanta
- 40 lembar mata uang dolar Singapura pecahan 1.000
- 125 lembar dolar Amerika pecahan 100
- Berbagai mata uang asing lainnya dalam amplop dan dompet
Dari Rumah Ariyanto Bakri
- Mobil Ferrari Spider
- Mobil Nissan GT-R
- Mobil Mercedes Benz
- 1 unit Land Cruiser
- 2 unit Land Rover
- 21 sepeda motor
- 7 sepeda
- 10 lembar dolar Singapura pecahan 100
- 74 lembar dolar Singapura pecahan 50
Dari Tempat Lain
- 360.000 dolar Amerika (setara Rp 5,9 miliar) dari rumah saksi AF
- 4.700 dolar Singapura dari kantor Marcella Santoso
- Rp 616.230.000 dari rumah Agam Syarif Baharudin
Tanggapan Mahkamah Agung dan Tindak Lanjut
Mahkamah Agung (MA) telah
mengambil langkah-langkah tegas menanggapi kasus ini:
- Membentuk satuan tugas evaluasi untuk menyelidiki kasus tersebut
- Memberhentikan sementara Muhammad Arif Nuryanta dari jabatannya sebagai Ketua PN Jakarta Selatan
- Memberhentikan sementara ketiga hakim yang terlibat (Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarif Baharudin)
- Menunjuk Wakil Ketua PN Jakarta Selatan sebagai pengganti sementara Muhammad Arif Nuryanta
Peran Panitera dan Panitera Pengganti
Dalam kasus ini, selain hakim,
panitera juga memiliki peran penting. Wahyu Gunawan sebagai Panitera Muda
Perdata PN Jakarta Utara menjadi perantara antara pengacara terdakwa korporasi
dan Muhammad Arif Nuryanta. Selain itu, ada pula beberapa Panitera Pengganti
yang terlibat dalam persidangan kasus CPO tersebut:
- Agnasia Marliana Tubalawony untuk terdakwa PT Musim Mas Group
- Vera Damayanti untuk terdakwa PT Permata Hijau Group
- Mis Nani BM Gultom untuk terdakwa PT Wilmar Nabati Group
Peran mereka dalam kasus suap
ini masih dalam penyelidikan Kejaksaan Agung.
Dampak Terhadap Sistem Peradilan Indonesia
Kasus suap besar yang
melibatkan Ketua PN Jakarta Selatan ini menjadi pukulan berat bagi citra
peradilan Indonesia. Kasus ini menunjukkan masih adanya celah dalam pengawasan
internal peradilan dan kerentanan sistem terhadap praktik korupsi.
Komisi III DPR RI melalui
anggotanya telah menyoroti pengawasan MA terhadap para hakim. Hal ini
menunjukkan bahwa kasus ini telah menarik perhatian luas dan berpotensi
mendorong reformasi dalam sistem pengawasan hakim dan peradilan di Indonesia.
Jajaran pimpinan Kejaksaan
Agung menegaskan komitmen mereka untuk terus mengusut kasus ini secara tuntas,
termasuk menelusuri sumber aliran dana suap dan siapa saja yang terlibat dalam
skema korupsi ini.
Post a Comment